Kalau Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum direvisi, maka kemungkinan kriminalisasi lewat pencemaran nama baik masih terbuka lebar.
Pola pemidanaan untuk membungkam kritik pun akan mudah digunakan terhadap seseorang.
Bayu Wardhana satu diantara pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI), seorang blogger memiliki potensi besar dijerat dengan pasal pencemaran nama baik UU ITE.
Terlebih lagi untuk blogger yang sering mengkritik pejabat publik atau badan usaha lain.
Tercatat tidak hanya aktivis dan jurnalis, kalangan ibu rumah tangga seperti Prita Mulyasari dan seorang penjual sate bisa terkena pasal itu.
“Blogger sangat bisa diperkarakan dengan UU ITE. Umumnya yang memperkarakan pejabat publik, perusahaan swasta dan pribadi,” ujar Bayu dalam sebuah diskusi tentang revisi UU ITE, di Jakarta, Kamis (18/02/2016).
Menurutnya, posisi blogger akan lebih sulit dibanding jurnalis waktu berhadapan dengan pasal pencemaran nama baik.
Seorang jurnalis dalam menjalankan profesinya mendapat perlindungan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
Apabila terjadi sengketa terkait isi berita, seorang jurnalis tidak dapat dihukum menggunakan pasal pencemaran nama baik UU ITE karena dilindungi UU Pers.
Ada mekanisme yang harus ditempuh seperti hak jawab dan penanganan sengketa dilakukan Dewan Pers, bukan kepolisian.
Sedangkan, blogger tidak termasuk dalam kategori profesi jurnalis, sehingga tidak dilindungi UU pers.
Ia mencontohkan kasus Prita Mulyasari yang menuliskan keluhan mengenai pelayanan sebuah rumah sakit internasional di mailing list dan forum online.
Akibatnya, pihak rumah sakit menggugat Prita secara pidana Prita dengan dakwaan melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE, Pasal 310 ayat (2) KUHP dan Pasal 311 ayat (1) KUHP.
“Peristiwa itu menunjukkan kalau Pasal 27 ayat 3 merupakan pasal karet tidak ada batasan apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik. Padahal yang dilakukan Prita hanya mengkritik,” kata Bayu.
Meskipun begitu, Bayu menganjurkan kepada para blogger untuk tidak terlalu khawatir terhadap ancaman UU ITE. Ini sepanjang seorang blogger bijak dalam mempublikasikan konten blognya.
Blogger bisa menggunakan kode etik jurnalistik sebagai acuan dan pedoman penberitaan media siber yang dikeluarkan Dewan Pers.
Dalam pedoman itu dikatakan sebuah konten media siber tidak boleh memuat kebohongan, fitnah, sadis dan cabul.
Selain itu, sebuah tulisan dilarang memuat isi yang mengandung prasangka dan kebencian terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta menganjurkan tindakan kekerasan.
“Setiap orang bebas untuk menyatakan setuju atau tidak setuju, asalkan tidak menyebarkan kebencian, kekerasan dan menuduh orang lain atas dasar prasangka,” pungkasnya. [DON]