Memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2015, Komisi E DPRD Jawa Timur akan mendorong regulasi tentang pekerja rumahan.
“Pekerja rumahan ini lebih luas dari sekedar Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang selama ini jadi fokus berbagai kelompok dalam advokasi regulasi” kata Agatha Retnosari Anggota E DPRD Provinsi Jatim, Minggu (08/03/2015)
Dikatakan Agatha, kalau pekerja rumahan itu meliputi buruh-buruh pekerja yang mendapatkan pesanan pekerjaan dari pabrik-pabrik untuk dikerjakan di rumah masing-masing.
“Bermacam jenis dan jumlahnya puluhan ribu pekerja yang tersebar dalam sentra-sentra pekerja rumahan, biasanya dekat lokasi pabrik. Mulai dari konveksi, rajutan, tas sepatu sampai pernak-pernik perhiasan. Mereka yang bekerja disektor ini jumlahnya mencapai 70% pekerja perempuan,” jelas Agatha.
Agatha menambahkan kalau perlindungan hukum pekerja rumahan ini jauh dari layak, mulai dari perlindungan hukum untuk mendapat upah yang layak sampai tidak adanya kewajiban perusahaan untuk memberikan jaminan kesehatan maupun mengurusi limbah pekerjaan yang dihasilkan.
“Kita harus ciptakan iklim yang pas, yang seimbang baik bagi pengusaha maupun pekerja rumahan ini. Bagaimana pola regulasi yang pas itu yang akan kita fokuskan, jangan sampai pekerja diperas tenaganya tapi perlindungan upah yang layak dan perlindungan kesehatannya dilupakan,” tegas Agatha.
Identifikasi terhadap jumlah valid pekerja rumahan ini dianggap Agatha menjadi problem khusus.
Menurut Agatha yang juga Pengurus Departemen Perempuan dan Anak PDI Perjuangan Jatim, keberhasilan merumuskan regulasi yang pas bagi perlindungan mereka menghadapi problem khusus, diantaranya luasnya sebaran dan tidak mudahnya identifikasi karena mereka benar-benar bekerja di rumah dan kemudian menyetorkan hasil pekerjaannya pada pengepul khusus yang ditunjuk pabrik.
“Tapi untuk menghadapi tantangan itu, kita akan bekerja bersama lembaga terkait untuk fokus mencari solusinya,” papar Agatha.
Agatha berharap dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional ini dijadikan momentum edukasi dan pendampingan kepada sektor-sektor pekerjaan yang didalamnya mayoritas pekerja perempuan.
“Pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, baik itu perempuan maupun laki-laki harus memiliki pandangan yang gender-friendly agar kebijakan maupun regulasi yang dihasilkan pro kepada perempuan. Semua regulasi yang pro-perempuan itu pasti juga akan berimbas positif kepada anak. Karena kualitas perempuan menentukan kualitas sebuah bangsa,” pungkas Agatha. [TAS]