Greenpeace Indonesia minta agar industri perkebunan untuk menanggulangi dan mengendalikan krisis asap dan kebakaran hutan dengan menerapkan langkah-langkah Penanggulangan Api.
Teguh Surya Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, penggundulan hutan dan pengeringan lahan gambut merupakan akar masalah dari krisis kabut asap dan kebakaran hutan.
Oleh karena itu rencana Joko Widodo Presiden untuk melindungi lahan gambut lewat peningkatan tata kelola dan penegakan hukum dinilai sejalan dengan temuan ini.
“Sudah jelas bahwa kabut asap dan kebakaran hutan berakar dari puluhan tahun kerusakan hutan dan lahan gambut oleh perusahaan bubur kertas dan kelapa sawit. Bencana yang sama akan terus terjadi sampai pada saatnya perusahaan menghentikan perusakan. Sudah saatnya pebisnis menunjukan upaya serius untuk bekerja sama mencegah kebakaran hutan dengan cara menghentikan pengrusakan dan melindungi hutan hujan serta lahan gambut,” ujar Teguh di Jakarta, Kamis, (29/10/2015).
Ditambahkan Teguh, data yang dikeluarkan Greenpeace, mengindikasikan jumlah titik api paling banyak berada pada konsesi Asia Pulp & Paper (APP).
Hal ini tidak mengherankan, karena ada beberapa sebab, jelas Teguh, diantaranya APP mempunyai total luas konsesi terbesar dengan warisan deforestasi yang besar, terutama di Sumatera bagian Selatan, wilayah konsentrasi kebakaran hutan.
“APP merupakan satu-satunya perusahaan yang sudah mempublikasikan peta akurat mengenai konsesi-konsesi mereka, termasuk para pemasok mereka. Perusahaan lain perlu dengan sukarela mengungkapkan data dan informasi yang sama agar data kebakaran hutan dapat diketahui publik, dan dapat menggambarkan betapa buruknya situasi kabut asap yang terjadi di seluruh perkebunan,” papar Teguh.
Teguh menegaskan, transparansi merupakan indikator penting untuk memerangi, tidak hanya kebakaran hutan, akan tetapi juga korupsi yang terkait dengan sektor pengelolaan sumberdaya alam.
Pemerintah mulai menunjukan itikad baik tentang transparansi lewat rencana penerbitan data pemetaan komprehensif atau yang dikenal dengan Satu Peta.
Namun demikian, pemerintah justru menolak permintaan Greenpeace Indonesia untuk membuka data perizinan dan pengusahaan lahan kepada publik agar dapat dianalisa. Padahal perusahaan juga sangat sedikit membuka informasi terkait kepemilikan tanah dan konsesi yang memasok mereka.
“Masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara tidak harus menanggung bencana asap kebakaran hutan seperti ini lagi. Industri bubur kertas dan kelapa sawit harus memastikan penghentian pembukaan hutan dan lahan gambut. Perusahaan yang abai dan masih merusak hutan dan lahan gambut harus bertanggung jawab langsung terhadap bencana kebakaran hutan dan kabut asap,” tegas Teguh. [DOD]