Terjadinya peristiwa kekerasan di Indonesia dan dunia menjadi awal terbitnya Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian atau “Hate Speech” yang saat ini menjadi pro dan kontra di publik.
Ini diungkap Jenderal Badrodin Haiti Kepala Polri dalam acara silaturahmi dengan sejumlah pimpinan media massa dan elektronik di Ruangan Rupatama, Kompleks Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (05/11/2015).
“Di Indonesia dulu banyak kekerasan. Mulai dari Sampang, Cikeusik dan sebagainya. Di luar negeri juga ada di Rwanda,” ujar Badrodin.
Lanjut Badrodin, tahun 2012 Polri mendapatkan masukan dari pakar, LSM dan lainnya agar ada yang mengatur soal ujaran kebencian yang melatari kejadian-kejadian itu. Yang jadi fokus pakar dan LSM, tugas dan fungsi personel kepolisian di lokasi peristiwa-peristiwa kekerasan yang tidak maksimal.
Polisi dianggap gagap dan kebingungan bahkan tidak tahu apa yang mesti dilakukan dalam menangani perkara yang seharusnya dapat dicegah sedini mungkin.
Hal itu dikuatkan dengan temuan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) tahun 2013. Saat itu, kata Badrodin, Kompolnas kunjungan kerja ke empat daerah, diantaranya Bandung, Surabaya, Makassar dan Banten.
Hasil dari kunjungan itu, Kompolnas merekomendasikan Polri untuk membuat pedoman bagi personel Polri dalam menangani ujaran kebencian.
“Tadinya mau dibuat regulasi baru. Tapi buat regulasi baru rupanya tidak bisa karena apa-apa yang jadi obyek ujaran kebencian, ada di KUHP. Oleh karena itu akhirnya dibuatlah surat edaran,” ujar Badrodin.
Ditegaskan Kapolri, SE itu bukan regulasi baru, bukan dasar hukum. SE itu merupakan pedoman internal Polri menangani hal-hal yang masuk ke ujaran kebencian. Sehingga jika ada orang atau kelompok yang merasa terdzolimi, ada yang melindunginya. [HIM]