Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan – KJPL Indonesia menilai masih banyak masalah dan kasus kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di Surabaya.
Ini disampaikan Teguh Ardi Srianto Ketua Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan – KJPL Indonesia, dalam Kilas Balik Persoalan Lingkungan Hidup Di Surabaya Selama 2019.
Menurut Teguh, ada beberapa persoalan lingkungan yang harusnya disikapi secara tegas dan jelas yang terjadi di Surabaya selama beberapa tahun terakhir.
Diantara kasus lingkungan yang masih jadi pekerjaan rumah Pemkot Surabaya, tentang kepastian pengembalian kawasan sabuk hijau di wilayah pesisir Surabaya, Timur dan Utara. “Kawasan pesisir di Surabaya yang masih butuh ketegasan dan kejelasan dari Pemkot Surabaya ada di Timur dan Utara. Di kawasan itu, sekarang sudah hancur mangrove dan ekosistem lainnya,” ujar Teguh.
Rencana pengembalian kawasan pesisir Surabaya jadi kawasan sabuk hijau sudah digagas di era kepemimpinan Bambang Dwi Hartono Walikota Surabaya waktu itu. “Sayangnya di era Tri Rismaharini, sampai mau habis jabatannya, tidak ada progres apapun, justru pemukiman makin meluas dibangun disisi Timur dan gudang juga pabrik makin tumbuh di Pesisir Utara Surabaya,” terang Teguh.
Selain persoalan di Kawasan Pesisir Surabaya yang perlu disikapi serius, ada persoalan klasik yang sampai sekarang masih menjadi hantu untuk warga Surabaya, yaitu sampah.
Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di Surabaya, otomatis volume sampah di Surabaya juga makin meningkat, meski sudah ada upaya pengurangan, pendaurulangan dan penggunaan ulang beberapa benda yang berpotensi jadi sampah, khususnya dari bahan plastik.
Menurut Teguh, dari temuan dan pantauan KJPL Indonesia selama lima tahun terakhir, persoalan sampah tetap jadi hal yang dikeluhkan warga Surabaya, khususnya mereka yang tinggal di kawasan padat penduduk. “Sebagai contoh nyata, persoalan sampah masih banyak ditemui dan dilihat di Surabaya Utara, Timur, Barat dan Selatan. Indikator paling mudah, setiap musim hujan datang dan terjadi banjir, sudah pasti di sekitar kawasan itu, masih ada persoalan sampah yang belum tuntas,” papar Teguh.
Contoh nyata diberikan Teguh, di Kawasan RT 008 RW 008 Kelurahan Asemrowo Kecamatan Asemrowo, Surabaya, masih ditemukan waduk atau bozem yang harusnya jadi tampungan air, justru jadi tampungan sampah.
Kondisi itu juga ditemukan KJPL Indonesia di beberapa saluran primer di Surabaya, diantaranya di Kali atau Sungai Asemrowo, yang sampai hari ini masih jadi lokasi rutin untuk buang sampah warga Surabaya dari beberapa lokasi. “Seringnya terjadi banjir di Kawasan Asemrowo, itu tidak hanya disebabkan masih kurangnya kesadaran dari masyarakat dalam mengolah sampah, tapi juga karena banyak saluran air yang tidak berfungsi seperti seharusnya,” kata Teguh.
Sementara, persoalan lingkungan lain yang masih harus jadi perhatian serius Pemkot Surabaya, penyediaan sanitasi sehat untuk warga miskin yang masih banyak diabaikan. “Di tengah Kota Surabaya yang kataya Kota Adipura Kencana, ternyata masih banyak warganya yang ditemukan Tim KJPL Indonesia tidak punya jamban atau kakus sehat. Itu bisa dilihat di kawasan-kawasan padat penduduk di tengah kota, seperti di Petemon, Sawahan, Wonorejo, Banyuurip dan Kedungdoro,” ungkap Teguh.
Khusus persoalan pencemaran udara akibat semakin bertambahnya jumlah kendaraan, industri dan aktivitas pembakaran lainnya termasuk pengolahan, pemanfaatan dan penimbunan limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang ada di Surabaya, juga masih jadi hal yang diabaikan Pemkot Surabaya.
“Banyak kegiatan pengangkutan, pengelolaan dan pemanfaatan limbah B3 yang tidak dipantau dan diurus Pemkot Surabaya. Tiap hari berton-ton limbah medis yang dihasilkan klinik-klinik, rumah sakit pemerintah dan swasta, tapi larinya ke mana limbah-limbah itu juga tidak jelas dan tidak terpantau,” jelas Teguh.
Teguh menegaskan, tidak hanya limbah medis, tapi jenis limbah B3 lain yang dihasilkan industri dan rumah tangga, kompleks perumahan, apartemen, hotel termasuk perkantoran dan pertokoan, masih banyak yang tidak terpantau dan terkelola secara benar sesuai aturan yang ada, khususnya PP. 101 Tahun 2014.
Konflik lingkungan hidup akibat proses pengembangan dan pembangunan di Surabaya juga masih terus terjadi sampai sekarang, mulai dari konflik antara warga dengan pengembang perumahan atau apartemen dan hotel sampai konflik perebutan lahan terbuka hijau.
“Paling signifikan kasus pendirian dan pembangunan Apartemen Gunawangsa Tidar, yang mengakibatkan ribuan warga terampas dan terancam hak-hak mereka untuk dapat lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” kata Teguh.
Dalam kasus pembangunan Apartemen Gunawangsa Tidar, Tim KJPL Indonesia yang mendampingi warga terdampak, terus berupaya melakukan proses perjuangan dengan menanyakan hak-hak warga yang dilanggar pemilik dan pembangun apartemen. “Sampai sekarang hasilnya masih belum signifikan, selain karena faktor warga yang tidak kompak, ada unsur lain yang membuat perjuangan warga terseok-seok, sehingga belum menampakkan hasil signifikan,” pungkas Teguh. [ZAL]