Persoalan lingkungan hidup khususnya perusakan Sumber Daya Alam yang terus terjadi sampai sekarang, menjadi perhatian serius Gerakan GUSDURian (GERDU) Surabaya.
Ini dibuktikan dengan digelarnya diskusi terbuka tentang pengelolaan Sumber Daya Alam dalam pandangan agama-agama di Auditorium Museum 10 Nopember, Tugu Pahlawan Surabaya, Selasa, (16/06/2015).
Komunitas ini mencoba menggali suara tokoh berbagai agama tentang tata kelola SDA di Indonesia.
Hadir dalam forum itu, diantaranya Alissa Wahid Koordinator Sekretariat Nasional (Seknas) Jaringan GUSDURian, M Al-Fayyadl Aktivis Muda NU, Romo Tri Budi Utomo yang biasa disapa Romo Didik Tokoh Katolik, dan Purnawan Dwikora Negara dari Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jatim.
WALHI memberi apresiasi tinggi dengan seminar yang dihadiri sedikitnya 200 orang dari berbagai lapisan masyarakat. Menurut Pupung, WALHI sangat membutuhkan forum-forum seperti ini. ia mengapresiasi sensitivitas tokoh agama terhadap isu SDA. Sebab, menurut WALHI, sekarang, Indonesia mengalami krisis eko-moral atau keteladanan ekologi.
“Spirit Gus dur dan nilai-nilai utama Gusdurian sebenarnya sama dan sevisi dengan 10 nilai WALHI. Bahkan WALHI pernah memberikan penghargaan terhadap Gus Dur sebagai pejuang lingkungan,” kata Pupung.
Pada kesempatan itu Romo Didik memaparkanbeberapa data teologis yang saat ini tengah berkembang di dalam gereja Katolik. Menurutnya, trend teologi sekarang; perdamaian bukan lagi sekedar keadilan sosial, namun bergeser menjadi keadilan lingkungan.
Sementara dalam fiqih tersebut tiga aspek pengelolaan SDA. “Pertama, prinsip-prinsipnya, kedua, pengelolanya (siapa yang paling berhak memiliki), ketiga, tata kelolanya,” ujar Gus Fayyad.
Fayyadl menjelaskan satu diantara aspek dalam fiqih yang dirintis Rais Aam PBNU era Gus Dur KH Ali Yafie mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan SDA, yaitu prinsip melindungi jiwa raga (hifdzun nafs).
Dengan kata lain, di dalam pengelolaan SDA tidak boleh ada manusia yang menjadi korban.
Di sisi lain, Alissa Wahid menegaskan, isu lingkungan bukan hanya soal penghijauan, namun juga soal kemanusiaan, keadilan, dan kearifan tradisi. “Jadi, kalau Gus Dur terlibat dalam isu lingkungan hidup, itu karena aspek kemanusiaan, keadilan, dan kearifan tradisi. Gus Dur itu berbasis nilai, bukan power atau status sosial,” tegas putri Almarhum Gus Dur ini.
Bagi Gus Dur, kebijakan pemimpin yang tidak maslahah atau tidak rahmatan lil alamin itu perlu diingatkan. Jadi, ada nilai-nilai.
“Misalnya, kita beli makanan, maka uangnya adalah milik kita. Tetapi makanan adalah milik bersama. Karena itu makanan yang tidak dihabiskan dan dibuang, itu salah,” jelasnya. [TAS]