Penanganan masalah dan konflik lingkungan hidup di Indonesia dinilai masih tidak tegas.
Kondisi itu diperkuat dengan masih banyaknya masyarakat yang jadi korban dari lemahnya kebijakan dan penegakan hukum lingkungan hidup yang sudah ada.
Untuk itu perlu segera ada penegakan aturan dari semua pihak, khususnya pemerintah dan penegak hukum dalam menyikapi dan melaksanakan aturan hukum lingkungan yang sudah ada.
Tertarik dengan kondisi penegakan hukum yang lemah di Indonesia, Laure de’ Hondt Peneliti dari Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development, Belanda sengaja datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian beberapa kasus penegakan hukum lingkungan yang pernah terjadi dan tidak tuntas bahkan cenderung merugikan masyarakat korban dari kasus konflik lingkungan.
Menurut Laure, kasus-kasus penegakan hukum lingkungan yang sudah diteliti, diantaranya sengketa Pabrik Tekstil Rancaekek, Citarum, Jawa Barat, dan kasus pertambangan emas di Maluku juga kasus pencemaran limbah Pabrik Gula Gempolkrep, Mojokerto yang sampai sekarang kasusnya tidak jelas dan tidak tegas penegakan hukumnya.
Khusus kasus pencemaran limbah Pabrik Gula Gempolkrep di Mojokerto yang manajemennya di bawah PTPN X, peneliti dari Belanda itu akan mengajak banyak pihak dan pemangku kepentingan untuk berpartisipasi memberikan data dan masukan yang dapat membongkar penyebab terhentinya kasus itu dan tidak jelasnya penegakan hukumnya.
“Kita akan mengumpulkan beberapa lembaga di Jawa Timur dan akan menggali data juga informasi, kenapa kasus Pabrik Gula Gempolkrep tidak ada sanksi hukum yang tegas dari penegak hukum,” ujarnya, Selasa (14/04/2015).
Beberapa lembaga yang sudah pasti akan dillibatkan untuk mengungkap tidak tegasnya penindakan hukum lingkungan di Jawa Timur diantaranya Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), Walhi Jawa Timur, Konsorsium Lingkungan Hidup Surabaya, Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan (KJPL) Indonesia, BLH Jawa Timur, BLH Kabupaten Gresik, Sidoarjo dan Mojokerto juga tokoh masyarakat dan akademisi dari Fakultas Hukum Unair.
Para pemangku kebijakan itu akan diajak berdiskusi selama dua hari mulai 14-16 April 2015 di Kantor Ecoton di Wringinanom, Gresik, Jawa Timur.
Sementara Prigi Arisandi Direktur Ecoton mengatakan, dengan adanya penelitian dan kajian itu, diharapkan ke depan, kasus-kasus lingkungan yang terjadi tidak hanya dituntaskan dengan jalur mediasi, tapi harus dengan penegakan hukum, sesuai dengan aturan hukum yang ada.
“Kita tidak ingin kasus hukum selesai hanya dengan mediasi yang tidak jelas dan merugikan masyarakat yang jadi korban, tapi kami ingin kasus hukum yang terjadi tuntas dengan penegakan hukum,” tegasnya.
Diharapkan hasil dari penelitian yang dilakukan peneliti dari Belanda itu, bisa berdampak pada hukum di Indonesia yang masih banyak mengadopsi tata aturan perundang-undangan dari negara lain diantaranya Belanda. [PAS | TAS]