Kunci keberdayaan perempuan adat Indonesia adalah pengakuan atas pengetahuan dan kearifan perempuan adat dalam pengelolaan sumber-sumber hidup dan wilayah kelola yang selama ini diabaikan.
Kalau hal ini dipenuhi, maka sumber daya alam Indonesia yang berada di dalam wilayah masyarakat adat bisa terselamatkan.
Ini merupakan hasil diskusi Lokakarya Dialog Nasional Persekutuan Perempuan Adat Nusantara-Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) dan Delegasi RI Mengenai Perubahan Iklim Menuju Proses Negosiasi CoP 21, Paris, di Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Pengetahuan dan kearifan perempuan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam secara terus menerus dipraktekkan, hidup dan berkembang (direproduksi) sejalan dengan posisi mereka sebagai penjaga ketahanan hidup keluarga dan komunitasnya.
Pemanfaatan berbagai jenis tanaman untuk bahan tenun dan pewarna alam, mengelola tanaman obat-obatan, lahan pertanian atau perkebunan dengan kearifan tradisional yang ramah emisi.
“Di tempat saya, kalau sudah panen itu pakai cara tradisional dengan kayu yang dilakukan oleh perempuan. Sekarang digantikan dengan mesin, yang meminggirkan peran perempuan adat. Sumber pendapatan berkurang yang memaksa mayoritas perempuan adat sasak menjadi buruh migran,” jelas Beldiana Selestina dari perempuan adat Ende, NTT, yang juga kader penggerak PEREMPUAN AMAN.
Sementara Khairina Arif Dewan Nasional PEREMPUAN AMAN region Sumatera Utara menjelaskan perempuan adat Rakyat Penunggu melakukan reklaiming lahan HGU PT LONSUM (kebun sawit) untuk dikelola sebagai lahan pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman keras agar bisa mengembalikan unsur tanah dan adaptif untuk tanah.
Penguasaan perkebunan sawit atas wilayah kelola perempuan adat telah menghancurkan pewarisan pengetahuan perempuan adat antar generasi yang diperparah oleh minimnya pendokumentasian.
“Hal ini berdampak pada diskriminasi yang dialami perempuan adat. Perubahan yang drastik, ekstrim dalam skala luas di wilayah kelola perempuan adat tidak mampu direspon perkembangan pengetahuan perempuan adat. Untuk itu pengalaman, pengetahuan dan pemahaman perempuan adat tentang perubahan iklim ini dan dampaknya akan kami jadikan posisi perempuan adat untuk di bawa ke dalam CoP 21, Paris. Ke depan, kami menginginkan setiap forum negosiasi perubahan iklim, perempuan adat terlibat penuh. Posisi perempuan adat ini akan kami serahkan kepada delegasi RI,” kata Devi Anggraini Ketua Umum PEREMPUAN AMAN.
Sementara itu Mina Susana Setra, Deputi I PB AMAN (Pengurus Besar) menjelaskan, umumnya dalam negosiasi perubahan iklim (terutama adaptasi dan mitigasi) perempuan adat selalu dimasukkan dalam kategori kelompok rentan bersama anak-anak, lansia, disabilitas.
Perempuan adat seharusnya mendapatkan perlindungan khusus dalam misalnya dalam implementasi REDD+, isu konservasi yang mengharuskan perempuan adat digusur dari wilayah adatnya.
Sedangkan dalam isu adaptasi perubahan iklim, perempuan adat juga perlu menyerukan pendanaan khusus untuk pemenuhan kebutuhan spesifik perempuan adat. [HIM]