Semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang, harus melakukan aksi mitigasi dengan catatan kalau negara-negara berhak untuk menentukan jenis kontribusi berdasarkan kondisi sosial ekonomi masing-masing.
Ini disampaikan Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden Joko Widodo untuk Pengendalian Perubahan Iklim jelang perundingan perubahan iklim internasional di Paris (COP21), tiga minggu mendatang.
Dalam pertemuan itu menteri-menteri yang menangani perubahan iklim dari sekitar 80 negara, bertemu untuk menjembatani isu politis yang masih menjadi perdebatan.
Pertemuan yang berlangsung mulai 8-10 November 2015 ini bukan merupakan negosiasi, tapi dilakukan untuk menemukan titik temu antar negara pihak sebagai landasan bagi negosiator untuk berunding nanti.
Hal ini sangat penting sebagai satu diantara upaya menyukseskan perundingan perubahan iklim di Paris untuk menghasilkan kesepakatan yang akan menentukan upaya pengendalian perubahan iklim pasca 2020.
Rachmat mengatakan dalam pertemuan itu dirinya akan menyampaikan beberapa posisi Indonesia.
“Di Indonesia, langkah mitigasi perubahan iklim harus sejalan dengan pengentasan kemiskinan, karena itu merupakan prioritas Pemerintah Indonesia saat ini. Hal ini sudah tercantum pada INDC Indonesia,” kata Rachmat, Kamis (12/11/2015).
Rachmat juga menekankan kalau untuk mencapai tujuan jangka panjang stabilisasi gas rumah kaca itu, harus ada kolaborasi usaha antara pemerintah, sektor bisnis, pemerintah kota dan pihak lainnya untuk meningkatkan skala aksi.
Hal ini harus diterjemahkan ke dalam konteks pembangunan ekonomi dan sosial serta pengentasan kemiskinan agar mendapatkan dukungan lebih dari banyak pihak.
Selain itu, Indonesia juga menekankan pentingnya tujuan jangka panjang untuk adaptasi perubahan iklim mengingat sudah banyak masyarakat Indonesia yang terkena dampak perubahan iklim.
Selain itu, agar dicapai sebuah kesepakatan pada COP21, menurut Rachmat, rasa percaya antar Negara Pihak perlu dibangun dan dipertahankan.
Satu diantara caranya, negara maju harus memenuhi janjinya untuk menyalurkan dukungan pendanaan pada negara berkembang untuk aksi perubahan iklim sampai tahun 2020.
Rachmat menjelaskan, minggu lalu dana yang terkumpul untuk tahun 2020 masih 10 miliar dollar AS, sekarang sudah 62 miliar dollar AS dari target 100 miliar dollar AS.
“Jadi kemungkinan besar target ini akan tercapai. Namun, diperlukan sebuah sistem transparansi aliran pendanaan yang tidak hanya ditujukan bagi negara penerima dukungan saja. Negara pemberi dukungan juga harus lebih transparan dalam menyalurkan dananya,” tutur Rachmat. [TAS]