Pemerintah Brasil dan Belanda memanggil duta besarnya di Jakarta sesudah Pemerintah Indonesia mengabaikan permohonan kedua negara itu untuk mengampuni warganya yang dieksekusi di Nusakambangan, Minggu (18/01/2015) dini hari.
Seorang warga Brasil dan Belanda merupakan di antara enam terpidana kasus narkoba yang dieksekusi sesudah permohonan grasi mereka ditolak Joko Widodo Presiden.
Akibat eksekusi itu, Pemerintah Brasil memanggil duta besarnya di Jakarta untuk konsultasi, dan menegaskan eksekusi mati itu akan mempengaruhi hubungan bilateral kedua negara.
“Penggunaan hukuman mati, yang dikecam masyarakat internasional, memberi pengaruh buruk untuk hubungan kedua negara,” demikian pernyataan kantor presiden Brasil, seperti dikutip kantor berita resmi negeri itu, Minggu (18/01/2015).
Sementara itu, Belanda juga memanggil pulang duta besarnya di Jakarta dan mengecam keras eksekusi terhadap seorang warga negeri itu, Ang Kiem Soei.
“Hukuman mati adalah hukuman yang kejam dan tak manusiawi yang mengabaikan kehormatan dan integrias seorang manusia,” kata Bert Koenders Menteri Luar Negeri Belanda.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, kuasa hukum Ang Kiem Soei lewat akun Twitter-nya mengatakan, Soei mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Belanda yang sudah berupaya untuk membatalkan eksekusinya.
Masih lewat Twitter, Soei mengatakan kalau dia memutuskan untuk berdiri di depan regu tembak tanpa penutup mata.
Eksekusi hukuman mati untuk keenam terpidana ini merupakan yang pertama dilakukan di Indonesia dalam lima tahun terakhir.
Presiden Joko Widodo mempertahankan keputusannya yang menolak permohonan grasi untuk para terpidana mati itu. Dia memilih untuk memegang undang-undang yang berlaku dan menyatakan tak ada ampun bagi para terpidana kasus narkotika.
“Hanya beberapa tahun lalu, Indonesia mengambil langkah positif meninggalkan hukuman mati. Namun, Pemerintah Indonesia sekarang mengubah posisi negeri itu ke arah yang berbeda,” ujar Rupert Abbott Direktur Riset masalah Asia Tenggara untuk Amnesti Internasional. [HAR]