Yayasan Lingkungan Hidup Seloliman (YLHS) melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan PT Multi Bintang Indonesia (MBI) Tbk untuk program “Nabung Banyu” di Gunung Welirang, Mojokerto.
Penandatanganan MoU dilakukan Suroso Direktur YLHS, dan Chin Kean Huat Presiden Direktur PT MBI serta Bambang Britono Direktur PT MBI. Penandatanganan MoU dilaksanakan 5 September 2016 di Gedung Pendopo Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Trawas Mojokerto.
Suroso Direktur YLHS, dalam siaran persnya, Rabu (12/10/2016), mengatakan, program “Nabung Banyu” ini merupakan kegiatan konservasi mata air Pacet melalui reboisasi dan pemberdayaan masyarakat tepi hutan Gunung Welirang, di Desa Claket Kecamatan Pacet Kabupaten Mojokerto.
Gunung Welirang merupakan gunung berapi aktif dengan ketinggian 3.156 m dpl yang secara administratif terletak di perbatasan Kota Batu, Kabupaten Pasuruan, dan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Gunung Welirang berada dalam pengelolaan Taman Hutan Raya Raden Soerjo.
Kawasan Hutan Welirang merupakan area strategis bagi proses pembanagunan segala sektor di Jawa Timur. Hutan dengan luas lebih dari 50.000 ribu hektar (terdiri dari hutan konservasi, hutan lindung dan produksi) memiliki 5 Sub DAS utama yang menopang 60% atau setara dengan 23 juta kehidupan masyarakat Jawa Timur.
Aktivitas masyarakat hilir yang meliputi usaha pertanian, peternakan, industri, pariwisata, dan sektor bisnis lain, memilki ketergantungan terhadap hutan tersebut.
Mengenai program “Nabung Banyu” ini, dijelaskan Suroso, dipicu penurunan debit air yang disebabkan kemerosotan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun sebagian besar penyebab utama dari masalah ini adalah penggunaan atau perubahan tata guna lahan yang kurang tepat atau keliru dimana daerah tangkapan air sudah dikonversi menjadi lahan pertanian, perkebunan.
“Bahkan menjadi tempat tinggal sehingga mengakibatkan menurunkan kapasitas infiltrasi dan memacu peningkatan run off yang bisa menyebabkan penurunan debit di sumber mata air, banjir, longsor serta kerusakan infrastruktur jalan serta fasilitas umum lainnya akibat dari penggerusan air dan longsor,” ungkap Suroso.
Penurunan debit dan kuantitas sumber air baku (mata air) semakin diperburuk oleh terjadinya perubahan iklim global (climate change) yakni terjadinya pola musim kemarau hujan yang tidak teratur lagi dimana pola hujan cenderung semakin pendek namun dengan intensitas hujan yang tinggi (hujan deras atau badai) dan terjadinya musim kemarau yang semakin panjang dan lebih kering. Hal-hal tersebut ikut berperan dalam penurunan debit sumber mata air secara umum di Kabupaten Mojokerto, khususnya di Desa Claket.
Berdasarkan hasil assessment YLHS beberapa waktu yang lalu, kata Suroso, sudah terjadi penurunan debit mata air di Desa Claket sebagai desa penyangga Taman Hutan Rakyat R. Soeryo. Sehingga kalau tidak dilakukan langkah-langkah perlindungan dan pencegahan serta adapatasi maka suatu saat kebutuhan air minum Kabupaten Mojokerto terancam tidak cukup lagi untuk memenuhi air bersih kepada masyarakat secara maksimal dan kontinyu.
Begitu juga air bersih yang dikelola oleh masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat juga terancam kesulitan mendapatkan air. Dan hal tersebut akan mempengaruhi kehidupan serta derajat kesehatan masyarakat.
Menyadari kondisi ancaman yang berkaitan dengan hal-hal tersebut, ungkap Suroso, perlu dilakukan antisipasi dan adaptasi untuk mengatasinya dan satu diantara upaya yang dilakukan adalah dengan kegiatan reboisasi dan konservasi kawasan hutan demi keberlanjutan sumber mata air yang selama ini mereka manfaatkan dan secara luas akan berdampak pula terhadap keberlanjutan pemenuhan air bersih bagi masyarakat secara umum terutama masyarakat di daerah hulu dan hilir.
“Ketersediaan air ini akan juga mendukung keberlanjutan industri industri yang ada. Kegiatan reboisasi dan konservasi yang akan dilakukan dapat membantu peresapan air kedalam tanah dan dapat meningkatkan debit mata air Desa Claket,” tambahnya.
Selain itu, kebutuhan lahan untuk aktifitas pertanian di desa target menjadikan kegiatan masyarakat melakukan pengelolaan kawasan hutan produksi dan sebagian hutan lindung sebagai lahan pertanian, serta sebagian dari mereka kegiatan perekonomiannya di hasilkan dari hasil pembuatan arang di kawasan hutan konservasi.
Secara ekonomi, program ini akan memberikan alternatif penghasilan bagi warga desa untuk meningkatkan pendapatan keluarganya, sehingga diharapkan kegiatan perambahan hutan yang dilakukan akan terkurangi. Pengembangan kewirausahaan adalah salah satu pilihan untuk menjaga ekosistem hutan.
Dengan meningkatnya pendapatan petani atau masyarakat dari sektor non hutan, kegiatan kegiatan perambahan hutan akan berkurang. Dengan demikian satu diantara faktor penyebab kerusakan hutan akibat “perambahan hutan oleh masyarakat” bisa diatasi.
Adapun tujuan program yakni meningkatkan kapasitas debit mata air Desa Claket sebagai desa penyangga Taman Hutan Rakyat R. Soeryo dengan melakukan penanaman pohon dan konservasi hutan; sharing metode adaptasi perubahan iklim; jadi stimulan dan advokasi kepada pemerintah daerah (PEMDA) mengenai konsep adaptasi perubahan iklim terutama untuk perlindungan sumber air baik di mata air suplai PDAM maupun mata air untuk kebutuhan masyarakat setempat; serta transfer of knowledge kepada pemangku kepentingan air di Kabupaten Mojokerto dalam merencanakan perlindungan sumber air baku melalui konsep adaptasi perubahan iklim.
Berdasarkan arahan dari MBI bahwa program “Nabung Banyu” Ini harus memberikan dampak positif pada 2 kawasan yakni pada kawasan penyangga sumber air dan kawasan masyarakat yang bersinggungan langsung dengan keberadaan MBI secara administrasi.
Untuk itu, program “Nabung Banyu” dilaksanakan di 2 wilayah dalam satuan kerja program yakni upstream dengan penanaman 10 ribu pohon endemik di atas lahan seluas 10 hektar di kawasan hutan R. Soeryo serta downstream berupa kegiatan pengolahan sampah, penyadaran lingkungan, sanitasi lingkungan, pendampingan Sekolah Berbudaya Lingkungan di SDN Sampang Agung 1 dan 2 serta disiapkan Musholah Hijau.
“Nantinya di Desa Claket dibangun 20 unit Green House dan 5 unit di Desa Sendi. Kemudian disediakan Kedai Hijau yang akan menampung hasi produksi pertanian organik, serta penguatan KSM. Program ini memberikan efek berantai yang sangat positif bagi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya,” pungkas Suroso. [CHA]